JEMBATAN IRENE
Dahulu kala di selatan Bandung, tepatnya di Dayeuhkolot (kota lama artinya awokawokawok), ada sebuah jembatan rel kereta api yg berdiri dengan megah membelah arus sungai Citarum. Jembatan itu dibangun dengan teknik konstruksi terbaik pada masanya, dengan mendatangkan bahan besi dan baja yg datang langsung dari benua Eropa. Jembatan ini pun niscaya menjadi salah satu jembatan penting yg dilalui lokomotif-lokomotif uap yg berputar layaknya dinamika kehidupan.
Namun, kini, jembatan tersebut telah lama ditinggalkan, dinonaktifkan, dan dimatikan. Semua berbarengan dengan saat jalur kereta api Bandung–Ciwidey dinonaktifkan dengan alasan kalah saing dengan transportasi jalan raya dan prasarana yg tua serta kondisi yg buruk. Tapi, jembatan manakah yg dimaksud sebenarnya?
Foto dari KITLV.
Kita di sini akan memperkenalkan jembatan Irene-Brug. Well... brug itu artinya jembatan sih, jadi cukup kita sebut sebagai Jembatan Irene, dan secara lengkapnya... jembatan ini dahulu kala disebut sebagai "Irenespoorbrug", di mana spoor artinya sepur, kereta. Sedangkan, nama Irene sendiri berasal dari putri Ratu Wilhelmina yg lahir pada tahun 1939, funfact kalau ia lahir setelah jembatan ini, yg artinya jembatan ini tercipta lebih dulu dari namanya sendiri.
Jika merujuk pada arsip KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde), jembatan ini lebih dikenal sebagai "Tjitaroemspoorburg", sebelum namanya diganti untuk memperingati putri Irene. Jembatan ini sendiri memiliki panjang 100 m dengan rincian, rangka 40 m dari struktur baja rangka V tanpa atap yg berada di kedua ujung sisi mulut jembatan, dan 60 m dari struktur baja rangka V dengan atap di tengah-tengahnya, disertai 2 pilar penopang yg menusuk sungai Citarum di bawahnya.
Lalu... saat masa revolusi nasional, atau lebih tepatnya saat peristiwa Bandung Lautan Api, jembatan ini sempat-sempatnya diledakkan oleh para pejuang kemerdekaan. Gara-gara itulah mengakibatkan struktur lama jembatan yg sebenarnya berbentuk melengkung itu roboh, dan digantikan oleh struktur V saat ini yg untungnya segera dibetulan oleh serdadu KNIL pada saat itu, sekalian diadakan juga upacara pembukaan di sana.
Di sisi lain, jembatan ini juga sangat mirip dengan jembatan kereta api Gunung Cupu di jalur kereta api nonaktif Banjar–Cijulang terutama dari strukturnya. Jembatan ini juga bisa kita bilang cukup spesial, karena tepat setelah mulut jembatan di sisi selatan, terdapat juga percabangan jalur kereta api menuju Majalaya yg sekarang juga turut nonaktif.
Dan kini, kondisi jembatan ini sudah nonaktif selepas ditutupnya jalur kereta api Bandung–Ciwidey dan kondisinya pun sudah berkarat, serta sebagian bentang jembatannya bahkan mengalami pendangkalan dari sungai Citarum. Pemukiman-pemukiman "illegal" juga didirikan di sekitara jembatan ini yg semakin menyulitkan akses jembatan, dan bentang jembatan kini hanya menyisakan panjang sekitar 80 m dari panjang aslinya yg sampai 100 m.
Pemerintah daerah, lalu terutamanya PT. KAI seharusnya menjaga salah satu dari watisan bersejarah yg pernah menjadi bagian dari perjalanan kota Bandung, serta turut mengawadu pembangunan pemukiman-pemukiman illegal tak bertanggung jawab di bantaran sungai yg sampai menyebabkan pendangkalan, dan alihfungsi lahan yg juga tidak seharusnya terjadi karena menjadi salah satu faktor terjadinya banjir di Dayeuhkolot.
Contoh nyatanya jelas seperti yg disebutkan tadi, panjang bentang jembatan ini yg aslinya 100 m kini hanya menyisakan panjang 80 m akibat pendangkalan lebar sungai sebesar 20 m. Akibat pendangkalan ini saja sudah bisa menyebabkan bencana alam, terutamanya banjir di bantaran sungai. Maka dari itu, kita mengharapkan pemerintah daerah agar menaruh perhatian pada aset cagar budaya beserta alam di sekitarnya. Kita juga berharap jembatan ini tetap eksis setelah jalurnya aktif kembali.
Komentar
Posting Komentar